Jumat, 23 Desember 2011

Pengertian Kesastraan


Dua benda dikatakan memiliki kesetaraan jika keduanya identik dalam satu hal atau lebih. Kalau A dan B tingginya 1,5 meter, maka keduanya setara dalam tinggi badan. Jika C dan D bergaji tiga juta rupiah per bulan, keduanya memiliki kesamaan pendapatan. Jika E dan F memiliki kesempatan yang sama dalam kuis TV, maka keduanya berkesempatan sama untuk menang. Yang pasti, tidak ada dua obyek fisik yang benar-benar sama dalam semua hal. Bahkan dua benda buatan manusia yang kita anggap identik tetap berbeda susunan dan posisi atomnya.

Apalagi manusia. Dalam artikelnya Wolftein membahas tiga macam kesamaan:

1) Kesetaraan secara politik—artinya hak terhadap kehidupan, kebebasan dan kepemilikan, tanpa gangguan dari pihak eksternal terhadap hal-hal tersebut;

2) Kesetaraan secara ekonomi, yang esensinya adalah kesamaan pendapatan atau kekayaan;

3) Kesetaraan secara sosial—yang dapat berupa (a) kesamaan status sosial, (b) kesetaraan dalam kesempatan, atau (c) kesamaan perlakuan, atau (d) kesamaan pencapaian.


Kesetaraan, Kebebasan dan Keadilan

Dengan cepat dapat diperlihatkan bahwa persamaan secara ekonomi dan sosial hanya dapat diraih dengan mengorbankan kesetaraan politis, sebab manusia berbeda dalam hal kemampuan, intelejensia, dan atribut-atribut lainnya. Dalam alam kebebasan, pencapaian, status, penghasilan dan kekayaan orang akan berbeda-beda. Seorang penyanyi berbakat akan mampu menarik penghasilan yang lebih besar dari seorang penggali kubur. Dan lain sebagainya.

Hanya ada satu cara agar semua orang dapat menjadi setara dalam hal ekonomi atau sosial, yaitu melalui: redistribusi secara paksa terhadap kekayaan dan pelarangan terhadap perbedaan sosial. Menurut Nozick dari Harvard Philosophy Department, dalam Anarchy, State and Utopia, kesetaraan ekonomi dan sosial membutuhkan intervensi pemerintah yang berkelanjutan tanpa henti terhadap transaksi-transaksi pribadi. Bahkan pun jika penghasilan disamaratakan, hal ini akan segera tidak setara jika orang masih memiliki kebebasan dalam membelanjakan uangnya. Kesetaraan ekonomi dengan demikian hanya dapat dipertahankan dalam sistem kontrol totalitarian terhadap kehidupan orang, atau pelucutan kebebasan masyarakat dalam mengambil pilihan dan menggantikannya dengan keputusan sentralistik penguasa.

Manusia bebas tidak setara secara ekonomi; manusia yang setara secara ekonomi, bukanlah manusia bebas. Kesetaraan ekonomi dan sosial hanya dapat dilakukan melalui interferensi koersif (yang bersifat memaksa)—di sini disebut sebagai egalitarianisme koersif.



Persamaan sebagai Ideal Etis

Adalah kenyataan bahwa orang berbeda satu dari lainnya. Pertanyaannya: haruskah orang berbeda? Ini pertanyaan etis; dan egalitarianisme adalah doktrin etis. Kesulitan utama kita dalam berurusan dengan hal-hal etis juga disebabkan oleh pandangan yang mengatakan bahwa etika adalah soal opini semata, dan bahwa satu sistem moral sama baiknya dengan sistem moral lainnya.

Tetapi setiap kode/doktrin etis dan dapat dinilai setidaknya dengan tiga butir kriteria:

(1) Apakah hal tersebut logis—apakah doktrin tersebut memiliki konsep dasar yang bermakna dan argumen-argumen yang diajukan sahih;

(2) Apakah hal tersebut realistis—apakah doktrin tersebut memungkinkan manusia hidup bersama, ataukah justru bertentangan dengan kodratnya sendiri sebagai manusia, dan;

(3) Apakah hal tersebut diinginkan—apakah konsekuensi-konsekuensinya sesuai dengan klaim-klaim yang diajukan atau justru bertentangan sama sekali; dan jika doktrin tersebut diterima, apakah hal tersebut membawa kebahagiaan manusia, ataukah justru kekecewaan dan keputusasaan?


Kriteria tersebut dapat dipakai untuk menguji doktrin egalitarianisme koersif.

  1. Apakah egalitarianisme-koersif logis? Egalitarianisme menyatakan bahwa semua orang harus setara, tetapi tidak banyak pihak egaliter yang mendefinisikan apa persamaan tersebut. Persamaan secara penuh adalah hal mustahil, sehingga konsep ini dapat seketika kita tolak. Konsep-konsep kesetaraan dalam bidang ekonomi dan sosial perlu didefinisikan secara pasti, karena maknanya berbeda-beda. Hingga definisi diberikan dengan jelas, doktrin egalitarianisme tidak dapat dianggap logis.
  2. Apakah egalitarianisme-koersif realistis? Orang berbeda-beda dan memiliki sistem nilai yang berbeda pula. Karena hal tersebut adalah bagian dari kodrat dan kondisi manusia, maka tuntutan agar semua ini ditinggalkan adalah sesuatu yang bertentangan dengan kodrat manusiawi, dan tidak realistis.
  3. Apakah egalitarianisme-koersif diinginkan? Egalitarianisme koersif mengimplikasikan dunia tanpa wajah di mana orang-orangnya dapat saling dipertukarkan. Impian terhadap dunia semacam ini lebih menyerupai mimpi buruk daripada sebuah cita-cita, dan memang demikian adanya.


Negara yang pernah mempraktikkan kesetaraan ekonomi dan sosial adalah Kamboja di bawah kepemimpinan Pol Pot. Di bawah rejimnya, seluruh populasi dipaksa meninggalkan kota dan semua orang dari berbagai usia dan status sosial dipaksa tinggal di desa dan bekerja sebagai buruh tani di lahan-lahan pertanian kolektif. Di Kamboja Pol Pot, semua orang harus berpikir, bekerja, dan berkeyakinan sama; setiap pemberontak akan dibunuh seketika di tempat. Saat ini di Kamboja utara dapat ditemui model perkampungan a la Pol Pot, di mana rumah-rumah penduduk tertata rapih, bersih dan berjajar identik. Di dekat perkampungan tersebut adalah kuburan massal di mana ratusan kerangka manusia dikuburkan—sisa-sisa keberadaan sekelompok manusia yang mencoba mempertahankan individualitasnya. Perkampungan kuburan massal tersebut adalah simbol yang pas bagi egalitarianisme koersif

Sementara egalitarianisme koersif mengenakan topeng sebagai doktrin etis, kenyataannya justru sebaliknya. Etika mempra-asumsikan bahwa manusia mampu membedakan kebajikan dari kebathilan. Tetapi doktrin egalitarianisme koersif menuntut agar kita memperlakukan manusia secara sama, tanpa memerdulikan perbedaan-perbedaanya, termasuk dalam hal kebajikan. Menuntut agar orang yang bajik dan yang buruk diperlakukan setara, adalah melakukan hal etis yang secara prinsip mustahil dipenuhi.

Ringkasnya, egalitarianisme koersif tidak logis karena dia mendefinisikan apa isi dan definisi “kesetaraan” tersebut.; dia tidak realistis karena mengharuskan kita menolak nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri; dan tidak diinginkan karena pada hakikatnya bertujuan menciptakan masyarakat manusia seperti koloni serangga. Egalitarianisme koersif gagal sebagai sebuah doktrin; namun secara emosional dia masih tetap menawan hati banyak orang. (*)


Yang dimaksud sosiologi karya sastra adalah penafsiran teks sastra secara
sosiologis. Mengutip pernyataan Hartoko, Noor menuliskan bahwa penafsiran teks secara
sosiologis adalah menganalisis gambaran tentang dunia dan masyarakat dalam sebuah
teks sastra, sejauh mana gambaran itu serasi atau menyimpang dari kenyataan. Dengan
demikian, terlihat di mana terdapat manipulasi, sambil meneliti fungsi apakah yang
dominan dari sebuah teks sastra: hiburan, informasi, moral, hakikat kemanusiaan, atau
pengalaman-pengalaman spiritual dan batiniah. Persoalan fungsi teks sastra itu lebih
lanjut dapat dipelajari dalam konteks fungsi sosial-kultural sastra: bagaimana sebuah teks
sastra berperan membangun moral dan peradaban manusia sehingga manusia semakin
lebih dekat dengan hakikat kemanusiaannya, atau bagaimana sebuah teks sastra mampu
mengembalikan manusia kepada hakikat kemanusiaannya (Noor, 2005: 90-91).
Sependapat dengan Hartoko, Damono (2002) mengatakan bahwa secara singkat
sosiologi sastra adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam
masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sastra dan sosiologi bukanlah dua
bidang yang berbeda garapan, malahan dapat dikatakan saling melengkapi. Sosiologi
dapat memberikan penjelasan yang bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dapat
dikatakan bahwa tanpa sosiologi pemahaman terhadap sastra belum lengkap. Hal ini
dikarenakan sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah
suatu kenyataan sosial.
Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh
perhatian terhadap aspek dokumenter sastra landasannya adalah gagasan bahwa sastra
27
merupakan cermin zamannya. Pandangan ini beranggapan bahwa sastra merupakan
cermin langsung dari pelbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan
kelas, dan lain-lain. Tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokohtokoh
khayali dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan
asal-usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra, yang bersifat pribadi itu, harus
diubah menjadi hal-hal yang sosial sifatnya (Damono, 2002: 1, 10-11).
Pandangan Damono tersebut ternyata senada dengan pendapat Ratna (2004) yang
menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk memfungsikan karya sastra sama dengan
aspek-aspek kebudayaan yang lain adalah dengan mengembalikan karya sastra ke tengahtengah
masyarakat, memahaminya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan sistem
komunikasi secara keseluruhan. Pandangannya tentang mengapa sastra memiliki kaitan
erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan
masyarakat tidak luput dari beberapa pertimbangan, yaitu: (1) karya sastra ditulis oleh
pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subyek
tersebut adalah anggota masyarakat; (2) karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap
aspek-aspek kehidupan dalam masyarakat, dan difungsikan oleh masyarakat; (3) karya
sastra mengandung masalah-masalah kemasyarakatan; (4) dalam karya sastra terkandung
estetika, etika, bahkan juga logika, di mana masyarakat juga berkepentingan dengan
ketiga hal tersebut; dan (5) karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat
menemukan citra dirinya dalam suatu karya (Ratna, 2005: 332-333).
Lebih lanjut Ratna juga menambahkan bahwa kelahiran karya sastra tidak lepas
dari kemampuan intersubjektivitas pengarang untuk menggali kekayaan masyarakat,
memasukkannya ke dalam karya sastra, yang pada akhirnya dapat dinikmati oleh
28
pembaca. Kemampuan pengarang dalam melukiskan pengalaman yang ia peroleh dalam
masyarakat dan juga kemampuan pembaca untuk memahami suatu karya sastra menjadi
unsur-unsur penting yang menentukan kekayaan suatu karya sastra. Hubungan karya
sastra dengan masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi, maupun afirmasi, jelas
merupakan hubungan yang hakiki. Karya sastra mempunyai tugas penting baik dalam
usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan, maupun memberikan pengakuan terhadap
suatu gejala kemasyarakatan.
Kebebasan sekaligus kemampuan karya sastra untuk memasukkan hampir seluruh
aspek kehidupan manusia menjadikan karya sastra sangat dekat dengan aspirasi
masyarakat. Demikian juga dengan cara-cara penyajian yang berbeda dibandingkan
dengan ilmu sosial dan humaniora membawa ciri-ciri tersendiri terhadap sastra.
Penyajian secara tak langsung, dengan menggunakan bahasa metaforis konotatif,
memungkinkan untuk menanamkan secara lebih intens masalah-masalah kehidupan
terhadap pembaca. Artinya, ada kesejajaran antara ciri-ciri karya sastra dengan hakikat
kemanusiaan. Fungsi sosial karya sastra sesuai dengan hakikatnya yaitu imajinasi dan
kreativitas adalah kemampuannya dalam menampilkan dunia kehidupan yang lain yang
berbeda dengan dunia kehidupan sehari-hari. Selama membaca karya sastra pembaca
secara bebas menjadi raja, dewa, perampok, dan berbagai sublimasi lain. Bakhtin
menyebutkan ciri-ciri karya sastra seperti ini sebagai karnaval, manusia berganti rupa
melalui topeng.
Sebagai multidisiplin, maka ilmu-ilmu yang terlibat dalam sosiologi sastra adalah
sastra dan sosiologi. Dengan pertimbangan bahwa karya sastra juga memasukkan aspekaspek
kebudayaan yang lain, maka ilmu-ilmu yang juga terlibat adalah sejarah, filsafat,
29
agama, ekonomi, dan politik. Yang perlu diperhatikan dalam penelitian sosiologi sastra
adalah dominasi karya sastra, sedangkan ilmu-ilmu yang lain berfungsi sebagai
pembantu. Pernyataan ini perlu dipertegas sebagai objek yang memegang peranan adalah
karya sastra dengan berbagai implikasinya, seperti teori sastra, kritik sastra, dan sejarah
sastra. Kesalahpahaman dalam analisis, misalnya, dengan memberikan prioritas terhadap
ilmu bantu, maka karya sastra akan menjadi objek yang kedua, sebagai komplementer.
Dengan perimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam
kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan meliputi tiga
macam: (1) menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra
itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi; (2)
menganalisis masalah-masalah sosial dengan cara menemukan hubungan antarstruktur,
bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika; dan (3)
menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh
disiplin tertentu.
Dikaitkan dengan perkembangan penelitian karya sastra, penelitian yang kedualah
yang dianggap lebih relevan. Pertama, dibandingkan dengan model penelitian yang
pertama dan ketiga, dalam model penelitian yang kedua karya sastra bersifat aktif dan
dinamis sebab keseluruhan aspek karya sastra benar-benar perberanan. Kedua, dikaitkan
dengan ciri-ciri sosiologi sastra kontemporer, justu masyarakatlah yang harus lebih
berperanan. Masyarakatlah yang mengkondisikan karya sastra, bukan sebaliknya (Ratna,
2004: 337-340).

Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
____________________. 2003. Sosiologi Sastra. Semarang: Magister Ilmu Susastra
UNDIP.
Sayuti, Drs. Suminto A. 2003. “Strukturalisme Dinamik dalam Pengkajian Sastra” dalam
Metodologi Penelitian Sastra, Jabrohim (ed.). Yogyakarta:Hanindita Graha Widya
dan Masyarakat Poetika Indonesia.
Noor, Redyanto. 2005. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo Semarang.
Ratna, Nyoman Kutha, S. U. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan
Fakta. Denpasar: Pustaka Pelajar.

Konsep Pendekatan Dan Metode Analisis Dalam Karya Sastra

a  Konsep Pendekatan Struktural Genetik
           Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucian Goldman, seorang filsuf dan sosiolog Studi of tragic Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies of Racine, dalam bahasa prancis terbit pertama kali tahun 1956. Sebagai  penghormatan terhadap jasa-jasanya, Jurnal lmiah The Philosophical Forum secara khusus menerbitkan karya-karya lmiah dalam kaitannya dengan kepakarannya,khususnya terhadap teori strukturalisme genetik.
        Struturalisme genetik mempunyai implkasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebagai seorang strukturalis, Goldman sampai pada kesimpulan bahwa struktur mesti dsempurnakan menjadi struktur bermakna, dimana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas, demikian seterusnya sehingga setiap unsur menopang ttalitasnya. The Hidden God, dimana konsep-konsep dasarnya dtanamkan kemudian disebut sebagai sosiologi kebudayaan. 
        Secara defenitif strukturalsme genetik  adalah analisis khusus dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas berarti bahwa struturalisme genetic  sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis intrisik dan ekstrinsik. Meskipun demikian, sebagai teori yang telah teruji faliditasnya, struturalisme genetic masih ditopang oleh beberapa konsep canggih yang tidak dimiliki oleh teori sosial lain, misalnya: simetri atau homologi, kelas- kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia. Konsep-konsep inilah yang membawa strukturalisme genetik pada puncak kejayaannya, sekitar tahun 1980-an hingga 1990-an.
        Homologi dipinjam melalui keayaan intelektual biologi, dengan asumsi persamaan struktur sebab diturunkan melalui organism primitive yang sama. Dalam strukturalisme genetic homologi disamakan dengan korespondensi, kualitas hubungan yang bersifat structural. Homlogi dengan demikian bukanlah kesejajaran formal, arbitrer, analogi, atau monolitis. Hmologi memiliki implikasi dengan hubungan bermakna antara struktur literer dengan struktur sosial. Dalam proses penelitian identifikasi terhadapnya memerlukan penelitian yang saksama , kualitasnya ditentukan oleh karya itu sendiri, bukan struktur sosial. Homologi bukan reduksi dan imitasi, interpendensinya adalah struktural, bukan hubungan isi secara langsung.
        Secara sosiologis, menurut Hauser (1985:139) seniman pun pada dasarnya ditentukan oleh kelas sosialnya. Perlu dijelaskan bahwa keterlibatan pengarang lebih bersifat afinitas, sebagai bentuk  ketertarikan terhadap suatu masalah dibandingkan dengan komitmen. Atas dasar akar sosial yang sama maka terjadilah simpati terbagi, imajinasi terbagi, kesadaran sosial yag dianggap sebagai genesis kreativitas. Dalam hubungan inilah, sesuai dengan pandangan Marxis, karya disebut sebagai wakil kelas sebab karya sastra dimanfaatkan untuk menyampaikan aspirasi kelompoknya. Dikaitkan dengan seniman sebagai pencipta , latar belakang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu latar belakang karena afilasi dan latar belakang karena kelahiran. Sebagai pencipta dengan  ciri-ciri aktivitas kreatif disatu pihak, penjelajahan sumber-sumber ilmu pengetahuan dipihak yang lain, maka yang lebih bermakna latar belakang sebagai akibat afiliasi, sebagai kelahiran yang kedua. Bentuk afiliasi bermacam-macam, sesuai dengan kompleksitas struktur sosial, seperti keluarga, profesi, intelektual,religi,ekonomi,dan sebagainya. Penagarang dapat melepaskan diri dari kelompok asal, terlihat dari kelompok lain,demikian seterusnya.
         Sejajar dengan masalah kelas-kelas solsial di atas,Goldman juga mengintroduksi konsep transindividual,intersubjektif menurut pemahaman lain. Meskipun Goldman mengadopsi istilah transindividual melalui khazanah intelektual Marxian,khususunya Lukacs,Goldman tidak menggunakan istilah kesadaran kolektif dengan mempertimbangkan bahwa istilah yang terakhir seolah-olah mennjolkan pikiran-pkiran kelompok. Sebalknya, menurut Goldman (1976:89-95) transndividual menampilkan pkiran-pikiran indivdu tetapi dengan struktur mental kelompok. Dunia intersubjektif adalah dunia yang dihuni bersama-sama dengan individu yang lain. Secara historis transindividual juga idanggap penolakan terhadap kultus individu yang menguasai abad romantik. Dalam strukturalisme genetik, subjek transidividual merupakan energy untuk mrmbangun pandangan dunia.
            Pandangan dunia merupakan masalah pokok dalam strukturlisme genetik. Homologi,kelas-kelas sosial, struktur bermakna,dan subjek transidividual diarahkan pada totalitas pemahaman yang dianggap sebagai kesimpulan suatu penelitian. Pandangan dunialah yang memicu subjek unutk mengarang,identifikasi pandangan dunia juga yang dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan suatu karya. Dengan kalimat lain,mengetahui pandangan dunia suatu kelompok tertentu berarti mengetahui kecenderungan suatu masyarakat,system ideology yang mendasari perilaku sosial sehari-hari.
         Secara definitive Goldman (1977:25) menjelaskan pandangan dunia sebagai ekspresi melalu hubungan dialektis kolektifitas tertentu dengan lingkungan sosial dan fisik, dan terjadi dalam periode bersejarah yang panjang. Pandangan dunia bukanlah ideology sebagaimana terkandung dalam pemahaman Marxisme atau pemahaman masyarakat pada umumnya. Konsep-konsep yang mendasari pandangan dunia harus digali melalui dan di dalam kesadaran kelompok yang bersangkutan dengan melibatkan indicator system kepercayaan,sejarah intelektual,dan sejarah kebudayaan secara keseluruhan. Penelitian terhadap primordial dan berbagai kecenderunagan masa lampau yang masih sangat dominan di Indonesia,msalnya memerlukan pelacakan terhadap fakta-fakta sejarah kebudayaan yang meliputi masa ratusan bahan ribuan tahun.
        Secara defenitif strukturalisme genetik harus menjelaskan struktur dan asal-usul struktur  itu sendiri dengan memperhatikan relevansi konsep homlogi, kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia. Dalam penelitian,langkah-langkah yang dilakukan diantaranya:
a.    Meneliti unsur-unsur karya sastra
b.    Meneliti  hubungan unsur-unsur karya sastradan totalitas karya sastra
c.    Meneliti unsur-unsur masyarakat yang berfungsi sebagai genesis karya sastra
d.    Meneliti hubungan unsur-unsur karya sastra dengan totalitas karya sastra
e.    Meneliti hubungan karya sastra secara keseluruhan

            2.a  Konsep Pendekatan Ekpresif
    Pendekatan ekspresif memiliki sejumlah persamaan dengan pendekatan biografis dalam hal fungsi kedudukan karya sastra sebagai manifestasi subjek creator. Dikaitkan dengan proses pengumpulan data dan penelitian, pendekatan ekspresif lebih mudah dalam memanfaatkan data biografis dibandingkan dengan pendekatan biografi dalam memanfaatkan data pendekatan ekspresif. Pendekatan biografis pada umumnya menggunakan data primer mengenai kehidupan pengarang, oleh karena itulah disebut sebagai data histografi. Sebaliknya pendekatan ekspresif lebih banyak memanfaatkan data sekunder , data yang sudah diangkat melalui aktivitas pengarang sebagai subjek pencipta, jadi sebagai data literatur. Untuk mnjelaskan hubungan antara pengarang, semestaan, pembaca dan karya sastra, Abrams membuat diagram yang terdiri atas empat kompnen utama, dengan empat pendekatan yaitu pendekatan ekspresif, mimetik, pragmatik, dan objektif.
    Pendekatan ekspresif tidak semata-mata memberikan perhatian terhadap bagaimana karya sastra itu diciptakan, seperti studi proses kreatif dalam studi biografis, tetapi bentuk-bentuk apa terjadi dalam karya sastra yang dihasilkan. Apabila wilayah studi biografis terbatas hanya pada diri penyair dengan kualitas pikiran dan perasaannya, maka wilayah studi ekspresif adalah diri penyair, pikiran dan perasaan,dan hasil-hasil ciptaannya. Dikaitkan dengan dominasi ketaksadaran manusia seperti disinggung di atas, maka pendekatan ekspresif membuktika bahwa aliran romantic cenderung tertarik pada masa purba, masa lampau, dan masa primitif kehidupan manusia. Melalui indikator yang disinggung di atas ,maka penedekatan ekspresif embuktikan bahwa aliran romantik cederung tertarik pada masa purba, masa lampau, dan masa primitif kehidupan manusia. Melalui indkator kondisi sosiokutural pengarang dan ciri-ciri individalisme, nasionalisme, komunisme, dan feminism dalam karya, baik karya sastra individual maupun karya sastra dalm kerangka periodisasi.
    Secara historis, sama dengan pendekatan biografis, pendekatan ekspresif dominan abd ke-19, pada zaman rmantik. Di Belanda dikenal melalui Angkatan 1880 (80-an), di Idonesia melalui Angkatan 1930 (30-an), yaitu Pujangga baru, yang dipelopori oleh Tarengkeng, Amir Hamzah, dan Sanusi Pane, dengan dminasi puisi lrik. Menurut Teuw (1988:167-168) tradisi itu masih berlanjut hingga Sutardji Colsum Bachri, tidak terbatas pada cipta sastra etapi juga pada politk sastra. Dala tradisi sastra Barat pernah kurang mendapat perhatian, yaitu selama sastra Pertengahan, sebagai akibat dominasi agama Kristen. Karya sastra semata-mata dianggap sebagai peiruan terhadap kebesaran Tuhan dengan knsekuensi manusia sebagai pencipta harus selalu berada di bawah sang Pecipta.

             3.a Konsep Pendekatan Mimesis
    Menurut Abrams (1976:8-9) pendetan mimesis merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Arstoteles. Menurut Plato, dasar pertimangannya adalah dunia pengalaman,yaitu karya sastra itu sendiri tdak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan. Secara hirarkis dengan demikian karya seni berada di bawah kenyataan. Pandangan ini di tolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa karya,seni berusaha menyucikan jiwa manusia, sebagai catharsis.Di samping itu juga karya seni berusaha membangun duninya sendiri.
    Selama abad Pertengahan karya seni meniru alam dikaitkan dengan adanya dominasi agama Kristen,di mana kemampuan manusia hanya berhasil untuk meneladani ciptaan Tuhan. Teori estetis ini tdak hanya ada d Barat tetapi juga di dunia Arab dan Indonesia. Dalam khazanah satra Indonesia yaitu dalam puisi Jawa Kuno seni berfungsi untuk meniru keindahan alam dalam bentuk yang berbeda,yaitu abad ke-18, dalam pandangan Marxis dan sosiologi sastra, karya seni dianggap sebagai refleksi, sebagaimana diintroduksi oleh salah seorang tokohnya yang terkemuka yaitu Lukacs, maka sosiolog sastra memandang kenyataa itu sebagai suatu yang sudah di tafsirkan. Dalam hubungan ini pendekatan mimesis memiliki persamaan dengan pendekatan sosiologis. Perbedaannya, pendekatan sosilogis tetap bertumpu pada masyarakat,sedangkan pendekatan mimesis,khususnya pada kerangka Abarams bertumpu pada karya sastra.
    Pendekatan mimesis Marxis merupakan pendekatan yang paling beragam dan memliki sejarah perkembangan yang paling panjang . Meslpun demikian, pendekatan ini sering dihindarkan sebagai akibat keterlibatan tooh-tokohnya dalam dunia politik. Di Indonesia, misalnya selama hampir tiga reformasi . DEngan pendekatan ini, di mulai lagi termasuk penarbitan karya sastra pengarang lekra seperti karya-karya Pramoedya Anata Toer dalam rangka menopang keberagaman khazanah kebudayaan. Pemahaman terhadap ciri-ciri kebudayaan kelompok yang lain dapat menngkatakan kualitas solidaritas sekaligus menghapuskan berbagai kecurigaan dan kecemburuan

Pengertian Cerita Rakyat

Pentingnya mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat, karena cerita rakyat itu memiliki fungsi kultural. Lahirnya suatu cerita rakyat bukan semata-mata di dorong oleh keinginan penutur untuk menghibur masyarakatnya melainkan dengan penuh kesabaran ia ingin menyampaikan nilai-nilai luhur kepada generasi penerusnya.
Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Djamaris (1993 : 15) yang mengatakan bahwa cerita rakyat adalah golongan cerita  yang hidup dan berkembang secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Disebut cerita rakyat karena cerita ini hidup di kalangan rakyat dan hampir semua lapisan masyarakat mengenal cerita itu. Cerita rakyat milik masyarakat bukan milik seseorang.
Cerita rakyat biasanya disampaikan secara lisan oleh tukang cerita yang hafal alur ceritanya. Itulah sebabnya cerita rakyat disebut sastra lisan. Cerita disampaikan oleh tukang cerita sambil duduk-duduk di suatu tempat kepada siapa saja, anak-anak dan orang dewasa (Djamaris, 1993 : 6).
Menurut Danandjaya (dalam Auda) (1999 : 16) cerita rakyat adalah merupakan bagian dari foklor lisan yang folklore yang memang murni. Sedangkan pengertian folklore adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif macam apa saja. Secara tradisional dalam versi yang berbeda bahwa dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerakan isyarat atau alat pembantu pengingat.
Disisi lain Andre (1981 : 1) mengemukakan pengertian dan fungsi cerita rakyat dalam bukunya yang berjudul “Sastra lisan Bugis” sebagai berikut : cerita rakyat adalah suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat itu yang diwarisi secara lisan sebagai milik bersama. Cerita rakyat tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, pengisi waktu senggang serta penyalur perasaan bagi penuturnya serta pendengarnya, melainkan juga sebagai pencerminan sikap dan angan-angan kelompok, alat pendidikan, alat pengesahan pranata, dan lembaga kebudayaan serta pemeliharaan norma masyarakat.
Rosidi dalam Auda (1999 : 15) sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa daerah yang terdapat di seluruh wilayah Nusantara, ini dinamakan sastra nusantara. Sedangkan yang dinamakan sastra Indonesia hanyalah sastra yang di tulis dalam bahasa Indonesia saja. Jadi karena pertimbangan dari segi bahasa itulah maka di Indonesia kita mengenal adanya sastra daerah (sastra Nusantara), sastra asing dan sastra Indonesia. Sastra Indonesia berarti sastra yang menggunakan bahasa Indonesia. Sastra Indonesia berarti sastra yang menggunakan bahasa Indonesia. Sastra daerah berarti sastra yang menggunakan salah satu bahasa daerah yang terdapat di wilayah Nusantara ini sastra asing berarti sastra yang menggunakan salah satu bahasa asing.
Sementara itu, menurut Gaffar (1990 : 3) cerita rakyat adalah salah satu bentuk tradisi lisan yang memakai media bahasa. Pengertian ini akan kabur bila mana diperhadapkan dengan bentuk sastra lisan yang juga memakai media bahasa seperti teka-teki dan ungkapan.
Jadi cerita rakyat adalah bagian dari karya sastra berupa dongeng-dongeng atau bentuk cerita lainnya yang berkembang di kalangan masyarakat tertentu dan disebarluaskan secara lisan dengan menggunakan bahasa daerah masing-masing. Karena cerita rakyat merupakan bagian dari karya sastra, maka dalam kebudayaan cerita itu termasuk dalam salah satu unsur kebudayaan. Cerita rakyat merupakan salah satu perwujudan atau pikiran kelompok masyarakat pendukungnya.
Lahirnya cerita rakyat karena pengaruh timbal balik yang kompleks dari faktor-faktor sosial kultural dan cerita-cerita rakyat itu mengandung pikiran tentang nilai yang harus menjadi panutan masyarakat yang bersangkutan dalam menata tindakan sehari-hari.


2.2    Jenis dan Macam Cerita Rakyat
Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia di kalangan masyarakat Muna banyak ditemui jenis cerita rakyat atau lebih dikenal dengan istilah dongeng.
Mengenai pembagian dan pengelompokan dongeng menurut jenis dan macamnya, oleh para ahli masih terdapat banyak perbedaan. Hal ini disebabkan masih banyak cerita rakyat memiliki lebih dari satu kategori. Artinya dalam satu cerita mungkin saja terdiri dari cerita mite, tetapi ia juga mempunyai unsur legenda, sage dan sebagainya.
William R. Bascom, dalam James Danandjaya, (1986 : 50-51) mengemukakan cara menentukan penggolongan cerita ke dalam jenis dan macamnya, adalah sebagai berikut :
Jika ada cerita sekaligus mempunyai ciri-ciri mite dan legenda, maka kita harus mempertimbangkan ciri mana yang lebih berat. Jika ciri mite lebih berat, maka cerita itu kita golongkan kedalam mite. Demikian pula sebaliknya, jika yang lebih berat adalah ciri legendanya maka cerita  itu harus digolongkan kedalam legenda. Selain itu kita harus memperhatikan kolektifnya (folk) yang demikian suatu cerita. Karena dengan mengetahui kolektifnya dapat ditemukan kategori suatu cerita. Jadi untuk menentukan apakah suatu cerita itu termasuk mite, legenda atau dongeng, kita harus mengetahui folk pemilik atau pendukung cerita itu (Danabdjaya, 1986 : 50-51).
Selain cara penentuan diatas dalam buku penelitian folklore Indonesia (ilmu gossip, dongeng dan lain-lain) telah dikemukakan pembagian dongeng sebagai berikut :
Cerita rakyat dibagi dalam tiga golongan besar yaitu :
(1) mitos (mite), (2) legenda (legend) dan (3) dongeng (falkto), (James Danandjaya, 1986 : 59).
1.    Mitos (mite), adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi setelah dianggap suci oleh empunya. Mite ditokohkan oleh dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwanya terjadi di dunia lain atau bukan di dunia yang seperti kita kenal sekarang ini dan terjadi di masa lampau.
2.    Legenda, adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Berbeda dengan mite, legenda ditokohi oleh manusia walaupun adakalanya sifat-sifat luar biasa dan seringkali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya di dunia yang kita kenal dan waktu terjadinya belum terlalu lama.
3.    Dongeng adalah prosa rakyat yang dianggap benar-benar oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terkait waktu maupun tempat.
2.3    Fungsi Cerita Rakyat
Setiap cerita rakyat memiliki fungsi dan tujuan yang hendak disampaikan kepada masyarakatnya. Fungsi dan tujuan dapat berbeda-beda sesuai dengan pandangan masyarakat, alam dan lingkungannya.
Dalam penelitian struktur lisan Toraja oleh Muhammad Sikki, dkk (1986 : 13), dikemukakan ada 4 fungsi cerita rakyat lisan Toraja khususnya dan cerita rakyat lisan pada umumnya, yakni sebagai berikut :
1.    Cerita dapat mencerminkan angan-angan kelompok. Peristiwa yang diungkap dalam cerita ini sulit terjadi dalam kenyataan hidup sehari-hari. Jadi, hanyalah merupakan proyeksi angan-angan atau impian rakyat jelata terutama gadis-gadis atau perjaka yang miskin.
2.    Cerita rakyat yang digunakan sebagai pengesahan penguatan suatu adat kebiasaan kelompok pranata-pranata yang merupakan lembaga kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
3.    Cerita rakyat dapat berfungsi sebagai pendidikan budi pekerti kepada anak-anak atau tuntunan dalam hidup ini.
4.    Cerita rakyat berfungsi sebagai alat pengendali sosial (sosial control) atau sebagai alat pengawasan, agar norma-norma masyarakat dapat dipatuhi (Bascom, dalam Muhammad Sikki, 1986 : 13).
Mengenai fungsi dan tujuan-tujuan tersebut, secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.    Dengan legenda, orang tua dapat mendidik atau para resi di saat itu dapat membina budi nurani anak-anak yang menunjukkan kepahlawanan dan kejujuran dalam melawan kebatilan atau kejahatan.
2.    Dengan Fabel, para pujangga bebas mengkritik atau sesuatu keadaan yang bersifat kejam. Kekejaman para tirani, para feodum (tuan tanah), kapitalis atau penjaga negeri yang disampaikan dalam bentuk-bentuk seloka. Maklumlah raja-raja atau penguasa waktu itu dianggap sebagai wakil tuhan atau dewa. Dengan fable, orang tua bisa menokohkan rakyat kecil sebagai pembela kebenaran dan kebatilan. Ia dapat menghukum si penguasa secara demokratis dengan para saksi yang disumpah.
3.    Dengan Mitos, para pujangga menimbulkan suatu kepercayaan dan masyarakat di zaman lama sebagian besar mempercayainya. Dengan mitos, timbullah suatu kultur individu bagi raja atau pemimpinnya. Dengan mitos, mereka menganut animisme atau menyembah berhala. Dengan mitos, tumbuh suatu aliran kepercayaan.
4.    Dengan sage dapat menceritakan cikal bakal asal mula nama tempat, negeri, gunung, kampung dan sebagainya.
Fungsi cerita rakyat menurut Djames Danandjaya (1984 : 4) mempunyai kegunaan sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
Jadi fungsi cerita rakyat adalah sebagai gambaran kehidupan masyarakat lama berupa nilai-nilai yang pernah dianut, serta kepercayaan-kepercayaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat itu, serta menjadi panutan dan tempat bercermin bagi masyarakat modern dalam menjalani kehidupannya. Selain itu juga dapat dijadikan penghibur dan pengisi waktu luang.


2.4    Konsep Nilai
Nilai adalah hakikat hal yang menyebabkan hal tersebut pantas dijalankan oleh manusia (Arijarkora dalam Evangelis, 2001 : 11). Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa nilai itu sendiri sesungguhnya berkaitan erat dengan kebaikan, yang membedakannya adalah kebaikan lebih melekat pada halnya, sedangkan nilai lebih merujuk pada sikap orang terhadap sesuatu atau hal yang baik.
Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan nilai dapat dikatakan berguna atau tidak berguna, baik atau tidak baik, religius atau tidak religius. Hal itu dihubungkan dengan unsur-unsur yang melekat pada diri manusia yaitu jasmani, cipta rasa, dan kepercayaan. Sesuatu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu berguna, benar (nilai kebenaran), indah (nilai etetis) baik (nilai etis/moral), religius (nilai agama).
Menurut Darmadiharjo, dkk (Evangelis, 2001 : 12) nilai terbagi atas tiga bagian yaitu :
a.    Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia
b.    Nilai vital, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan aktivitasnya.
c.    Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang bagi rohani manusia.

Islam Di Indonesia

Islam merupakan agama dengan pemeluk terbesar di Indonesia. Hal tersebut tidak terlepas dari usaha para juru dakwah agama Islam dalam melakukan islamisasi di  Indonesia. Islamisasi adalah istilah umum yang biasa dipergunakan untuk menggambarkan proses persebaran Islam di Indonesia pada periode awal (abad 7-13 M), terutama menyangkut waktu kedatangan, tempat asal serta para pembawanya, yang terjadi tidak secara sistematis dan terencana. Inilah definisi  islamisasi  yang dimaksud dalam tulisan ini.
    Islam telah dikenal ke Nusantara atau Indonesia pada abad pertama Hijaiyah 7 Masehi, meskipun dalam frekuensi yang tidak terlalu besar melalui perdagangan dengan para pedagang muslim yang berlayar ke kawasan ini singgah untuk beberapa waktu. Pengenalan Islam lebih intensif, khususnya di Semenan-jung Melayu dan Nusantara, berlangsung beberapa abad kemudian.
Ketika Islam datang di Indonesia, berbagai agama dan kepercayaan seperti animisme, dinamisme, Hindu dan Budha, sudah banyak dianut oleh bangsa Indonesia bahkan dibeberapa wilayah kepulauan Indonesia telah berdiri kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha. Misalnya kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, kerajaan Taruma Negara di Jawa Barat, kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan sebagainya. Namun Islam datang ke wilayah-wilayah tersebut dapat diterima dengan baik, karena Islam datang dengan membawa prinsip-prinsip perdamaian, persamaan antara manusia (tidak ada kasta), menghilangkan perbudakan dan yang paling penting juga adalah masuk kedalam Islam sangat mudah hanya dengan membaca dua kalimat syahadat dan tidak ada paksaan.
Terlepas dari semua itu, realita yang terjadi tentang agama Islam di Indonesia saat ini adalah orang menerima anggapan bahwa mayoritas rakyat Indonesia (sekitar 89,09 %) beragama Islam. Sudah tentu jumlah sebesar ini mencakup mereka yang tergolong dalam Islam statistik, artinya mereka yang ber-KTP Islam dan mengidentifikasi dirinya sebagai muslim. Namun, menurut pandangan saya Islam yang ada di Indonesia saat ini adalah lebih mengarah pada minoritas aktif saja dan bukan pada mayoritasnya. Walaupun untuk mengukurnya tergantung pada definisi yang kita pergunakan. Dan di sini saya memandang Islam yang didefinisikan sebagai himpunan orang yang menyatakan dirinya sebagai pemeluk agama Islam. Sebagian besar yang kita temui di lapangan adalah ummat Islam hanya terkait dengan Islam secara nominal saja. Sebagian besar tidak tahu apa-apa tentang Islam.
    Sebenarnya ada masalah apa dengan Islam di Indonesia ? jika dirinci terlalu banyak masalah di dalamnya, bahkan  untuk membahas satu masalah saja dibutuhkan waktu yang cukup lama. Di satu sisi kita dapat melihat kemerosotan ummat Islam di bidang politik, dan di sisi lain fenomena yang juga terjadi adalah kemerosotan pendidikan khususnya pendidikan Islam. Saya mengambil salah satu contoh yaitu Lembaga Pendidikan Islam yang ditetapka oleh pemerintah dalam hal ini Madrasah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) telah di sederajatkan kedudukannya dengan sekolah-sekolah umum setingkat yang ada di bawah koordinasi Depdikbud. Dengan persamaan ini, Madrasah masih berstatus sebagai sekolah agama, namun kadar pelajaran agamanya menjadi 30 % dari keseluruhan mata pelajarannya dan 70 % lainnya diisi dengan pelajaran umum sesuai dengan standar sekolah umum. Mengapa demikian? Bukankah pendidikan  agama sangat penting untuk dipelajari  oleh generasi muda sebagai pondasi keimanan dan ketakwaan mereka. 
   
    Itulah yang menjadi masalah dalam makalah ini, yaitu bagaimana kedudukan Islam di Indonesia saat ini? Serta bagaimana kaitannya dengan pendidikan Islam itu sendiri? Sebenarnya, masih banyak masalah yang dihadapi ummat Islam di Indonesia, tetapi dalam penulisan makalah ini hanya mengacu pada masalah kedudukan Islam dan pendidikannya saja. Untuk itu, tujuan yang ingin dicapai dari permasalahan yang dihadapi oleh ummat Islam di Indonesia yaitu agar dapat mengetahui bagaiamna kedudukan islam di Indonesia serta kaitannya dengan pendidikan Islam.   

Pilkada Masuk Sekolah

Tahun 2010 merupakan moment Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia. Pilkada adalah pemilihan kepala daerah dengan mengerahkan segala kekuatan untuk mendapatkan kekuasaan sebagai tujuan, begitu sebutan masyarakat yang rela melakukan apa saja untuk menjadi tim sukses calonnya.
Buton utara adalah salah satu daerah yang melaksanakan pilkada; tepatnya pada tanggal 29 April 2010. Dimulai dari system kekeluargaan, jalianan keakraban, simpatisan, money politics, hingga intimidasi pendidikan. Hubungannya dengan pendidikan adalah ada salah seorang peluncur yang menggunakan moment ini sebagai tameng untuk memenangkan calonnya. Ketika saya bersama keluarga pulang kampung untuk mencoblos, saya sempat mendengar ada ada isu yang membuat resah masyarakat setempat.  Dengan mengandalkan kekuasaannya sebagai kepala sekolah, ia mengancam siswa-siswanya; kalau ingin lulus pilih nomor XX, begitu katanya sambil memainkan jemarinya menunjuk para siswa.
Mendengar informasi itu dari sejumlah murid dan orang tua yang telah diberitahu anaknya, saya heran, bukankah pemilihan calon kepala daerah dilakukan dengan menggunakan hati nurani bukan dengan intimidasi? Tapi kenyataan yang terjadi, Pendidikan sudah dijadikan sebagai sarana politik praktis. Mungkin saja dengan melakukan tindakan ancaman seperti ini kepada siswa-siswanya merupakan niat baik seorang kepala sekolah agar mereka mau belajar dengan sungguh-sungguh, tidak mencemarkan nama baik sekolah karena ada siswa yang tidak lulus, dan tidak mengharapkan jawaban dari guru yang siap joki saat ujian nanti.
Sungguh unik tapi nyata. Mungkin saya bisa mengatakannya Pilkada Pergi ke Sekolah. Tentu saja bukan pilkadanya yang bersekolah seperti para siswa mencari ilmu, tetapi Pilkada mencari suara. Memang tujuan utama pilkada adalah mencari simpatisan dengan mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya untuk menang. Tapi dimana hati nurani anda ketika sebuah ultimatum yang mengancam karier dan cita-cita.
Jika kita melihat secara teliti tentang permasalahan ini, mungkin kita akan bertanya; apakah bisa seorang siswa dikatakan berhasil jika jawaban siswa ketika mengikuti ujian nasional bukanlah hasil dari belajar siswa itu sendiri melainkan joki dari seorang pengancam? Fakta inilah yang menjadi salah satu factor mutu pendidikan di Indonesia sangat rendah. Kata rendah dalam artian siswa itu hanya mengikuti system yang telah ditetapkan atau sekolah selama tiga tahun tanpa hasil yang bisa dipertanggungjawabkan.
Kembali saya merujuk pada Pilkada Pergi Ke Sekolah. Saya kembali menekankan bahwa Pilkada seharusnya meraih simpatisan atau suara dengan sikap dan sifat tulus kita bukan dengan kediktatoran kita sebagai penguasa sehingga pendidikan menjadi salah satu korban dari keegoisan kita.

Defenisi Prestasi Belajar Siswa

A.    Pengertian Prestasi Belajar Siswa
Kata prestasi berasal dari bahasa Belanda yakni “Prestatic” yang artinya apa yang telah diciptakan, hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dari keuletan kerja. Dalam bahasa Inggris yakni “Cleverness” artinya kepandaian atau hasil. Setiap usaha yang dilakukan manusia secara sadar mempunyai tujuan, demikian pula yang dilakukan siswa dalam belajar bertujuan untuk mencapai hasil yang baik. Untuk melihat baik tidaknya hasil yang dicapai biasanya melakukan tes. Nilai-niali tes ini yang mencerminkan prestasi belajar siswa, dimana prestasi belajar ini merupakan salah satu indikator dari perubahan-perubahan yang terjadi pada diri seseorang yang mengalami proses belaja.
Winkel (1997:298), mengemukakan bahwa prestasi belajar adalah segala pekerjaan yang berhasil menunjukkan kecakapan manusia yang dicapai. Sedangkan Subandija (1993:4), menyatakan bahwa prestasi belajar diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi di sekolah, dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes. Sedangkan Mappa (1997:20), menyatakan bahwa prestasi belajar adalah hasil belajar yang dicapai siswa dengan bidang studi terrtentu dengan tes  standar sebagai alat pengukur keberhasilan belajar siswa.
Belajar secara tradisional merupakan sebagai upaya menambah dan mengumpulkan sejumlah pengetahuan. Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang terjadi dalam bentuk informasi/ atau member pelajaran (Syah dalam Rahmaniar, 2006:1).
Belajar bukan suatu tujuan, tetapi merupakan suatu proses untuk mencapai suatu tujuan. Jadi belajar merupakan langkah-langkah atau prosedur yang ditempuh untuk mencapai tujuan. Bukti bahwa sesorang telah belajar ialah terjadinya perubahan pada tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti (Hamalik, 2001:30).
Worth dalam Abdullah (1979:49), menjelaskan bahwa prestasi belajar sebagai produk antara Abilitas dengan motivasi yang mengatur dan menentukan tingkah laku dalam usaha pencapaian tujuan. Sedangakan Tirtaharja dalam Fathullah (1995:9), menjelaskan bahwa prestasi belajar diartikan sebagai taraf kemampuan aktual yang bersifat terukur yang berupa penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap yang dicapai oleh siswa dari apa yang dipelajari di sekolah. Prestasi belajar yakni suatu nilai yang menunjukkan hasil yang tertinggi dalam belajar yang dicapai menurut kemampuan anak dalam mengerjakan sesuatu pada saat tertentu.
Berdasarkan uraian diatas, prestasi belajar adalah suatu hasil belajar yang nyata dari perubahan dari dalam diri seseorang setelah orang tersebut melakukan proses belajar mengajar. Hal ini bagi siswa ditandai dengan prestasi yang diperoleh dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh guru di sekolah yang tercantum  dalam nialai rapor.

faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional


Faktor-Faktor Kecerdasan Emosional
Goleman dalam Salovey (2002:58-59), menempatkan kecerdasan pribadi dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kecerdasan tersebut menjadi lima faktor utama, yaitu:
a.      Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer dalam Goleman (2002:64) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.
b.       Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002:77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
c.        Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
d.      Mengenali Emosi Orang Lain (empati)
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002:57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka (Goleman, 2002:136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (John, 2001:172). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada em.
e.       Kemampuan Membina Hubungan
Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002:59). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya