Jumat, 23 Desember 2011

Pengertian Kesastraan


Dua benda dikatakan memiliki kesetaraan jika keduanya identik dalam satu hal atau lebih. Kalau A dan B tingginya 1,5 meter, maka keduanya setara dalam tinggi badan. Jika C dan D bergaji tiga juta rupiah per bulan, keduanya memiliki kesamaan pendapatan. Jika E dan F memiliki kesempatan yang sama dalam kuis TV, maka keduanya berkesempatan sama untuk menang. Yang pasti, tidak ada dua obyek fisik yang benar-benar sama dalam semua hal. Bahkan dua benda buatan manusia yang kita anggap identik tetap berbeda susunan dan posisi atomnya.

Apalagi manusia. Dalam artikelnya Wolftein membahas tiga macam kesamaan:

1) Kesetaraan secara politik—artinya hak terhadap kehidupan, kebebasan dan kepemilikan, tanpa gangguan dari pihak eksternal terhadap hal-hal tersebut;

2) Kesetaraan secara ekonomi, yang esensinya adalah kesamaan pendapatan atau kekayaan;

3) Kesetaraan secara sosial—yang dapat berupa (a) kesamaan status sosial, (b) kesetaraan dalam kesempatan, atau (c) kesamaan perlakuan, atau (d) kesamaan pencapaian.


Kesetaraan, Kebebasan dan Keadilan

Dengan cepat dapat diperlihatkan bahwa persamaan secara ekonomi dan sosial hanya dapat diraih dengan mengorbankan kesetaraan politis, sebab manusia berbeda dalam hal kemampuan, intelejensia, dan atribut-atribut lainnya. Dalam alam kebebasan, pencapaian, status, penghasilan dan kekayaan orang akan berbeda-beda. Seorang penyanyi berbakat akan mampu menarik penghasilan yang lebih besar dari seorang penggali kubur. Dan lain sebagainya.

Hanya ada satu cara agar semua orang dapat menjadi setara dalam hal ekonomi atau sosial, yaitu melalui: redistribusi secara paksa terhadap kekayaan dan pelarangan terhadap perbedaan sosial. Menurut Nozick dari Harvard Philosophy Department, dalam Anarchy, State and Utopia, kesetaraan ekonomi dan sosial membutuhkan intervensi pemerintah yang berkelanjutan tanpa henti terhadap transaksi-transaksi pribadi. Bahkan pun jika penghasilan disamaratakan, hal ini akan segera tidak setara jika orang masih memiliki kebebasan dalam membelanjakan uangnya. Kesetaraan ekonomi dengan demikian hanya dapat dipertahankan dalam sistem kontrol totalitarian terhadap kehidupan orang, atau pelucutan kebebasan masyarakat dalam mengambil pilihan dan menggantikannya dengan keputusan sentralistik penguasa.

Manusia bebas tidak setara secara ekonomi; manusia yang setara secara ekonomi, bukanlah manusia bebas. Kesetaraan ekonomi dan sosial hanya dapat dilakukan melalui interferensi koersif (yang bersifat memaksa)—di sini disebut sebagai egalitarianisme koersif.



Persamaan sebagai Ideal Etis

Adalah kenyataan bahwa orang berbeda satu dari lainnya. Pertanyaannya: haruskah orang berbeda? Ini pertanyaan etis; dan egalitarianisme adalah doktrin etis. Kesulitan utama kita dalam berurusan dengan hal-hal etis juga disebabkan oleh pandangan yang mengatakan bahwa etika adalah soal opini semata, dan bahwa satu sistem moral sama baiknya dengan sistem moral lainnya.

Tetapi setiap kode/doktrin etis dan dapat dinilai setidaknya dengan tiga butir kriteria:

(1) Apakah hal tersebut logis—apakah doktrin tersebut memiliki konsep dasar yang bermakna dan argumen-argumen yang diajukan sahih;

(2) Apakah hal tersebut realistis—apakah doktrin tersebut memungkinkan manusia hidup bersama, ataukah justru bertentangan dengan kodratnya sendiri sebagai manusia, dan;

(3) Apakah hal tersebut diinginkan—apakah konsekuensi-konsekuensinya sesuai dengan klaim-klaim yang diajukan atau justru bertentangan sama sekali; dan jika doktrin tersebut diterima, apakah hal tersebut membawa kebahagiaan manusia, ataukah justru kekecewaan dan keputusasaan?


Kriteria tersebut dapat dipakai untuk menguji doktrin egalitarianisme koersif.

  1. Apakah egalitarianisme-koersif logis? Egalitarianisme menyatakan bahwa semua orang harus setara, tetapi tidak banyak pihak egaliter yang mendefinisikan apa persamaan tersebut. Persamaan secara penuh adalah hal mustahil, sehingga konsep ini dapat seketika kita tolak. Konsep-konsep kesetaraan dalam bidang ekonomi dan sosial perlu didefinisikan secara pasti, karena maknanya berbeda-beda. Hingga definisi diberikan dengan jelas, doktrin egalitarianisme tidak dapat dianggap logis.
  2. Apakah egalitarianisme-koersif realistis? Orang berbeda-beda dan memiliki sistem nilai yang berbeda pula. Karena hal tersebut adalah bagian dari kodrat dan kondisi manusia, maka tuntutan agar semua ini ditinggalkan adalah sesuatu yang bertentangan dengan kodrat manusiawi, dan tidak realistis.
  3. Apakah egalitarianisme-koersif diinginkan? Egalitarianisme koersif mengimplikasikan dunia tanpa wajah di mana orang-orangnya dapat saling dipertukarkan. Impian terhadap dunia semacam ini lebih menyerupai mimpi buruk daripada sebuah cita-cita, dan memang demikian adanya.


Negara yang pernah mempraktikkan kesetaraan ekonomi dan sosial adalah Kamboja di bawah kepemimpinan Pol Pot. Di bawah rejimnya, seluruh populasi dipaksa meninggalkan kota dan semua orang dari berbagai usia dan status sosial dipaksa tinggal di desa dan bekerja sebagai buruh tani di lahan-lahan pertanian kolektif. Di Kamboja Pol Pot, semua orang harus berpikir, bekerja, dan berkeyakinan sama; setiap pemberontak akan dibunuh seketika di tempat. Saat ini di Kamboja utara dapat ditemui model perkampungan a la Pol Pot, di mana rumah-rumah penduduk tertata rapih, bersih dan berjajar identik. Di dekat perkampungan tersebut adalah kuburan massal di mana ratusan kerangka manusia dikuburkan—sisa-sisa keberadaan sekelompok manusia yang mencoba mempertahankan individualitasnya. Perkampungan kuburan massal tersebut adalah simbol yang pas bagi egalitarianisme koersif

Sementara egalitarianisme koersif mengenakan topeng sebagai doktrin etis, kenyataannya justru sebaliknya. Etika mempra-asumsikan bahwa manusia mampu membedakan kebajikan dari kebathilan. Tetapi doktrin egalitarianisme koersif menuntut agar kita memperlakukan manusia secara sama, tanpa memerdulikan perbedaan-perbedaanya, termasuk dalam hal kebajikan. Menuntut agar orang yang bajik dan yang buruk diperlakukan setara, adalah melakukan hal etis yang secara prinsip mustahil dipenuhi.

Ringkasnya, egalitarianisme koersif tidak logis karena dia mendefinisikan apa isi dan definisi “kesetaraan” tersebut.; dia tidak realistis karena mengharuskan kita menolak nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri; dan tidak diinginkan karena pada hakikatnya bertujuan menciptakan masyarakat manusia seperti koloni serangga. Egalitarianisme koersif gagal sebagai sebuah doktrin; namun secara emosional dia masih tetap menawan hati banyak orang. (*)


Yang dimaksud sosiologi karya sastra adalah penafsiran teks sastra secara
sosiologis. Mengutip pernyataan Hartoko, Noor menuliskan bahwa penafsiran teks secara
sosiologis adalah menganalisis gambaran tentang dunia dan masyarakat dalam sebuah
teks sastra, sejauh mana gambaran itu serasi atau menyimpang dari kenyataan. Dengan
demikian, terlihat di mana terdapat manipulasi, sambil meneliti fungsi apakah yang
dominan dari sebuah teks sastra: hiburan, informasi, moral, hakikat kemanusiaan, atau
pengalaman-pengalaman spiritual dan batiniah. Persoalan fungsi teks sastra itu lebih
lanjut dapat dipelajari dalam konteks fungsi sosial-kultural sastra: bagaimana sebuah teks
sastra berperan membangun moral dan peradaban manusia sehingga manusia semakin
lebih dekat dengan hakikat kemanusiaannya, atau bagaimana sebuah teks sastra mampu
mengembalikan manusia kepada hakikat kemanusiaannya (Noor, 2005: 90-91).
Sependapat dengan Hartoko, Damono (2002) mengatakan bahwa secara singkat
sosiologi sastra adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam
masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sastra dan sosiologi bukanlah dua
bidang yang berbeda garapan, malahan dapat dikatakan saling melengkapi. Sosiologi
dapat memberikan penjelasan yang bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dapat
dikatakan bahwa tanpa sosiologi pemahaman terhadap sastra belum lengkap. Hal ini
dikarenakan sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah
suatu kenyataan sosial.
Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh
perhatian terhadap aspek dokumenter sastra landasannya adalah gagasan bahwa sastra
27
merupakan cermin zamannya. Pandangan ini beranggapan bahwa sastra merupakan
cermin langsung dari pelbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan
kelas, dan lain-lain. Tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokohtokoh
khayali dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan
asal-usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra, yang bersifat pribadi itu, harus
diubah menjadi hal-hal yang sosial sifatnya (Damono, 2002: 1, 10-11).
Pandangan Damono tersebut ternyata senada dengan pendapat Ratna (2004) yang
menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk memfungsikan karya sastra sama dengan
aspek-aspek kebudayaan yang lain adalah dengan mengembalikan karya sastra ke tengahtengah
masyarakat, memahaminya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan sistem
komunikasi secara keseluruhan. Pandangannya tentang mengapa sastra memiliki kaitan
erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan
masyarakat tidak luput dari beberapa pertimbangan, yaitu: (1) karya sastra ditulis oleh
pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subyek
tersebut adalah anggota masyarakat; (2) karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap
aspek-aspek kehidupan dalam masyarakat, dan difungsikan oleh masyarakat; (3) karya
sastra mengandung masalah-masalah kemasyarakatan; (4) dalam karya sastra terkandung
estetika, etika, bahkan juga logika, di mana masyarakat juga berkepentingan dengan
ketiga hal tersebut; dan (5) karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat
menemukan citra dirinya dalam suatu karya (Ratna, 2005: 332-333).
Lebih lanjut Ratna juga menambahkan bahwa kelahiran karya sastra tidak lepas
dari kemampuan intersubjektivitas pengarang untuk menggali kekayaan masyarakat,
memasukkannya ke dalam karya sastra, yang pada akhirnya dapat dinikmati oleh
28
pembaca. Kemampuan pengarang dalam melukiskan pengalaman yang ia peroleh dalam
masyarakat dan juga kemampuan pembaca untuk memahami suatu karya sastra menjadi
unsur-unsur penting yang menentukan kekayaan suatu karya sastra. Hubungan karya
sastra dengan masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi, maupun afirmasi, jelas
merupakan hubungan yang hakiki. Karya sastra mempunyai tugas penting baik dalam
usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan, maupun memberikan pengakuan terhadap
suatu gejala kemasyarakatan.
Kebebasan sekaligus kemampuan karya sastra untuk memasukkan hampir seluruh
aspek kehidupan manusia menjadikan karya sastra sangat dekat dengan aspirasi
masyarakat. Demikian juga dengan cara-cara penyajian yang berbeda dibandingkan
dengan ilmu sosial dan humaniora membawa ciri-ciri tersendiri terhadap sastra.
Penyajian secara tak langsung, dengan menggunakan bahasa metaforis konotatif,
memungkinkan untuk menanamkan secara lebih intens masalah-masalah kehidupan
terhadap pembaca. Artinya, ada kesejajaran antara ciri-ciri karya sastra dengan hakikat
kemanusiaan. Fungsi sosial karya sastra sesuai dengan hakikatnya yaitu imajinasi dan
kreativitas adalah kemampuannya dalam menampilkan dunia kehidupan yang lain yang
berbeda dengan dunia kehidupan sehari-hari. Selama membaca karya sastra pembaca
secara bebas menjadi raja, dewa, perampok, dan berbagai sublimasi lain. Bakhtin
menyebutkan ciri-ciri karya sastra seperti ini sebagai karnaval, manusia berganti rupa
melalui topeng.
Sebagai multidisiplin, maka ilmu-ilmu yang terlibat dalam sosiologi sastra adalah
sastra dan sosiologi. Dengan pertimbangan bahwa karya sastra juga memasukkan aspekaspek
kebudayaan yang lain, maka ilmu-ilmu yang juga terlibat adalah sejarah, filsafat,
29
agama, ekonomi, dan politik. Yang perlu diperhatikan dalam penelitian sosiologi sastra
adalah dominasi karya sastra, sedangkan ilmu-ilmu yang lain berfungsi sebagai
pembantu. Pernyataan ini perlu dipertegas sebagai objek yang memegang peranan adalah
karya sastra dengan berbagai implikasinya, seperti teori sastra, kritik sastra, dan sejarah
sastra. Kesalahpahaman dalam analisis, misalnya, dengan memberikan prioritas terhadap
ilmu bantu, maka karya sastra akan menjadi objek yang kedua, sebagai komplementer.
Dengan perimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam
kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan meliputi tiga
macam: (1) menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra
itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi; (2)
menganalisis masalah-masalah sosial dengan cara menemukan hubungan antarstruktur,
bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika; dan (3)
menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh
disiplin tertentu.
Dikaitkan dengan perkembangan penelitian karya sastra, penelitian yang kedualah
yang dianggap lebih relevan. Pertama, dibandingkan dengan model penelitian yang
pertama dan ketiga, dalam model penelitian yang kedua karya sastra bersifat aktif dan
dinamis sebab keseluruhan aspek karya sastra benar-benar perberanan. Kedua, dikaitkan
dengan ciri-ciri sosiologi sastra kontemporer, justu masyarakatlah yang harus lebih
berperanan. Masyarakatlah yang mengkondisikan karya sastra, bukan sebaliknya (Ratna,
2004: 337-340).

Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
____________________. 2003. Sosiologi Sastra. Semarang: Magister Ilmu Susastra
UNDIP.
Sayuti, Drs. Suminto A. 2003. “Strukturalisme Dinamik dalam Pengkajian Sastra” dalam
Metodologi Penelitian Sastra, Jabrohim (ed.). Yogyakarta:Hanindita Graha Widya
dan Masyarakat Poetika Indonesia.
Noor, Redyanto. 2005. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo Semarang.
Ratna, Nyoman Kutha, S. U. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan
Fakta. Denpasar: Pustaka Pelajar.

2 komentar:

  1. bukan kesastraan tapi kesetaraan.. koreksi dahulu lain waktu.. agar tidak mengecewakan pembaca.

    BalasHapus
  2. bukan kesastraan tapi kesetaraan.. koreksi dahulu lain waktu.. agar tidak mengecewakan pembaca.

    BalasHapus