Jumat, 23 Desember 2011

Pilkada Masuk Sekolah

Tahun 2010 merupakan moment Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia. Pilkada adalah pemilihan kepala daerah dengan mengerahkan segala kekuatan untuk mendapatkan kekuasaan sebagai tujuan, begitu sebutan masyarakat yang rela melakukan apa saja untuk menjadi tim sukses calonnya.
Buton utara adalah salah satu daerah yang melaksanakan pilkada; tepatnya pada tanggal 29 April 2010. Dimulai dari system kekeluargaan, jalianan keakraban, simpatisan, money politics, hingga intimidasi pendidikan. Hubungannya dengan pendidikan adalah ada salah seorang peluncur yang menggunakan moment ini sebagai tameng untuk memenangkan calonnya. Ketika saya bersama keluarga pulang kampung untuk mencoblos, saya sempat mendengar ada ada isu yang membuat resah masyarakat setempat.  Dengan mengandalkan kekuasaannya sebagai kepala sekolah, ia mengancam siswa-siswanya; kalau ingin lulus pilih nomor XX, begitu katanya sambil memainkan jemarinya menunjuk para siswa.
Mendengar informasi itu dari sejumlah murid dan orang tua yang telah diberitahu anaknya, saya heran, bukankah pemilihan calon kepala daerah dilakukan dengan menggunakan hati nurani bukan dengan intimidasi? Tapi kenyataan yang terjadi, Pendidikan sudah dijadikan sebagai sarana politik praktis. Mungkin saja dengan melakukan tindakan ancaman seperti ini kepada siswa-siswanya merupakan niat baik seorang kepala sekolah agar mereka mau belajar dengan sungguh-sungguh, tidak mencemarkan nama baik sekolah karena ada siswa yang tidak lulus, dan tidak mengharapkan jawaban dari guru yang siap joki saat ujian nanti.
Sungguh unik tapi nyata. Mungkin saya bisa mengatakannya Pilkada Pergi ke Sekolah. Tentu saja bukan pilkadanya yang bersekolah seperti para siswa mencari ilmu, tetapi Pilkada mencari suara. Memang tujuan utama pilkada adalah mencari simpatisan dengan mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya untuk menang. Tapi dimana hati nurani anda ketika sebuah ultimatum yang mengancam karier dan cita-cita.
Jika kita melihat secara teliti tentang permasalahan ini, mungkin kita akan bertanya; apakah bisa seorang siswa dikatakan berhasil jika jawaban siswa ketika mengikuti ujian nasional bukanlah hasil dari belajar siswa itu sendiri melainkan joki dari seorang pengancam? Fakta inilah yang menjadi salah satu factor mutu pendidikan di Indonesia sangat rendah. Kata rendah dalam artian siswa itu hanya mengikuti system yang telah ditetapkan atau sekolah selama tiga tahun tanpa hasil yang bisa dipertanggungjawabkan.
Kembali saya merujuk pada Pilkada Pergi Ke Sekolah. Saya kembali menekankan bahwa Pilkada seharusnya meraih simpatisan atau suara dengan sikap dan sifat tulus kita bukan dengan kediktatoran kita sebagai penguasa sehingga pendidikan menjadi salah satu korban dari keegoisan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar