Jumat, 23 Desember 2011

Tersangka korupsi

Nama     :  olman peridian B  (A1D1 08 042)

Pada masa sekarang ini di media masa maupun media cetak sedang marak-maraknya memperbincangkan masalah kasus Gayus Tambunan yang merupakan seorang penelaah keberatan pajak (banding) perseorangan dan badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak, dalam sekejap telah menjadi “Artis Perpajakan”. Gayus  merupakan salah satu tersangka yang telah melakukan pidana korupsi, pencurian uang dan penggelapan pajak. Gayus mengatakan  bahwa aliran senilai Rp. 24,6 miliar itu merupakan titipan Andi Kosasih seorang pengusaha garmen asal Batam. Terungkapnya masalah tersebut ketika Gayus yang memiliki nama lengkap Gayus Tambunan ini, menghadiri pesidangan di Pengadilan Negeri Tangerang pada 12 Maret 2010 dan Gayus divonis bebas dari hukuman.
Terkait hal itu, meski kasus itu menurut pengadilan negeri dianggap selesai, namun implikasinya telah mencoreng kredibilitas Ditjen Pajak. Bahkan, mantan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Susno DUadji menyatakan bahwa masih ada ratusan di Ditjen Pajak. Jika lontaran itu benra, maka bisa dibayangkan betapa ganasnya masalah ini, “ujar Susno Duadji”. Tentu saja, Ditjen Pajak akan pesakitan dalam menghadapi kasus ini dan menjadi “Sansak” yang dipukul dari seluruh penjuru angin. Dengan demikian, dari kasus-kasus pajak tersebut, tampak tiga fakta yang perlu diangkat. 
Pertama, WP (terutama korporasi kakap) masih cenderung memanipulasi pembayaran pajak, apalagi ditunjang dengan sistem yang sangat memungkinkan dilakukannya hal tersebut (self-assesment). Belum tampak kesadaran yang tinggi bahwa pajak merupakan bagian penting dari siklus kehidupan bernegara. Kedua, aparat pajak sendiri cenderung melakukan moral hazard, sekali lagi juga karena sistem yang memungkinkan hal itu terjadi (misalnya WP masih bertemu muka dengan aparat penagih pihak). Jadi, sistem harus dibangun untuk mengeliminasi moral hazard dari kedua belah pihak itu. Ketiga, aparat Ditjen Pajak tidak bermain sendiri (seperti kasus Gayus), tapi diorganisasi secara cermat oleh Markus dari beberapa instansi (juga konsultan pajak). Ini semua harus dibersihkan, jadi bukan Cuma Ditjen Pajak.
Adapun isu lain yang penting, dimana kasus ini tidak boleh dibajak oleh WP perseorangan/badan yang memanfaatkan “tikungan” ini untuk menyabotase upaya reformasi pajak. Oleh karena itu, sudah saatnya reformasi birokrasi dilakukan secara menyeluruh. Walaupun secara konseptual reformasi birokrasi di Kementrian Keuangan sudah terlihat komprehensif, kesan bahwa reformasi itu lebih banyak berbicara soal peningkatan gaji (reformasi remunerasi) tidak terelakkan. Implikasinya, aspek-aspek reformasi yang lain (rekrutmen, sistem kerja, penempatan staf, reward and punishment, dan monitoring) seperti diabaikan. Catatan lain, “reformasi remunerasi” di Kementrian Keuangan telah menyemaikan bibit kecemburuan dari kementrian lain, apalagi setelah kasus ini mencuat. 
Pemerintah hendaknya tidak melakukan diskriminasi. Reformasi harus dijalankan secara serentak di semua lini birokrasi dengan menggunakan konsep yang utuh. Dengan jalan inilah reformasi birokrasi tidak akan ditelikung oleh para markus maupun bandit ekonomi yang selalu mengail di air keruh. Implikasinya, kepercayaan masyarakat akan pulih sehingga bersedia menunaikan kewajibannya secara sukarela, layaknya slogan : orang bijak bayar pajak.
Disamping itu masyarakat juga berharap agar Gayus Tambunan mau memberikan informasi selengkapnya, sehingga nanti9nya bukan hanya dia yang tertangkap, melainkan oknum-oknum perpajakan dan pihak terkait lainnya. Namun, bukan tidak mungkin Gayus Tambunan akan menghadapi terror dan ancaman yang membuat Gayus terpaksa tutup mulut demi keselamatan dirinya, istrinya atau anak-anaknya. Jika pembungkaman itu terjadi, masyarakat merasa kecewa karena persoalan Gayus tak akan menyentuh episentrum masalah yang sebenarnya bersifat luar biasa.
Menteri Keuangan Sri MUlyani Indrawati menampik kasus Gayus Tamunan akan menurunkan kepercayaan publik. Meski demikian, dia berjanji mengevaluasi keseluruhan sistem yang memberikan celah munculnya kasus ini. Sri Mulyani menyanggah kasus Gayus merupakan bukti kegagalan remunerasi terkait reformasi birokrasi.
“Mungkin tidak (menurunkan kepercayaan publik). Kecuali kalau saya diam dan Ditjen Pajak tidak merespon“, kata Sri, Jumat (26/3) petang. Bagaimanapun, kata dia, pegawai pajak ada 30-an ribu. Satu dua oknum yang melakukan pelanggaran lalu ketahuan, tegas dia, akan direspon dengan mekanisme internal. 
Jika modus sudah ditemukan, kata Sri, akan dilihat dimana kelemahan yang ada sehingga hal itu bisa terjadi. “(apakah) pada sistemnya, pada prosedur untuk mengontrolnya, atau pada atasan yang mebawahinya:, tutur Sri Mulyani.
Sri Mulyani menegaskan pula tindakan tak hanya selesai pada satu orang Gayus kecuali kita akan melihat seluruhnya, tidak (hanya) menindak satu orang, “ujar dia. Karena yang lebih penting adalah koreksi pada sistem jika kesalahan itu ada pada sistem. Langkah yang sama jika kesalahatan pada prosedur.
Tujuan koreksi menyeluruh, ujar Sri, adalah untuk mencegah terulangnya kasus ini. “(Evaluasi) tidak hanya di bagian ini. Mungkin di bagian lain (juga ada persoalan) dengan modus yang berbeda, “imbuh dia.
Jika hasil penyelidikan dan evaluasi internal menemukan adanya keterlibatan pihak  selain Gayus, Sri Mulyani berjanji tidak akan segan mengambil tindakan tegas. ‘Kita sudah komitmen kepada reformasi. Kita tidak akan segan-segan menindak. Kalau ada kelompok yang membantu atau ada sistem yang dianggap semacam keteledoran, pasti ada konsekuensinya, “uangkap dia.
Dalam kesempatan ini Sri Mulyani menampik keras bahwa kasus Gayus membuktikan program remunerasi di Kementrian Keuangan tidak berhasil. Remunerasi merupakan bagian dari paket kebijakan reformasi birokrasi di Kementrian ini.          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar